opini

Islam dan Sains Masa Kini

Sebelum memperoleh pencerahan sekalipun, seseorang akan mengetahui bahwa segala sesuatu bisa membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, naluri fitriah ini akan hilang ketika ia mulai berbaur dengan masyarakat yang korup, karena urusan duniawi telah mencegahnya untuk mengarungi samudra wawasan yang luas.

– AI-Ghazālī  –

Kita telah membangun sebuah peradaban yang di dalamnya elemenelemen terpenting sangat bergantung pada sains dan teknologi. Kita juga telah menyusun segalanya, hingga hampir tidak ada orang yang bisa memahami hakikat sains dan teknologi. Inilah jalan menuju bencana. Kita mungkin bisa hidup dengan itu semua untuk sementara waktu, tetapi cepat atau lambat campuran ketidaktahuan dan kekuasaan yang mudah terbakar ini akan meledak di wajah kita.

– Carl Sagan –

Teknologi vs. Perkembangan Manusia

Dubai telah menjadi Hong Kong baru: kosmopolitan, aktif, dan terus berkembang dengan cepat -setidak-tidaknya sampai terjadi krisis ekonomi global. Saya menyebutnya sebagai Manhattan Teluk Arab dan Timur Tengah, karena berbagai alasan, terutama banyaknya gedung pencakar langit yang telah menjamur selama dasawarwa terakhir. Dubai telah membangun menara tertinggi di dunia (Burj Dubai) dan hotel berbintang tujuh pertama di dunia (Burj AI-Arab), lengkap dengan restoran bawah laut dan berbagai fasilitas lain yang menakjubkan. Seandainya krisis ekonomi tidak memukul begitu keras, Dubai mungkin akan memiliki enam menara lebih dari 100 lantai sekumpulan gedung-gedung pencakar langit terbesar di dunia. Ada transformasi luar biasa yang dilakukan pada sebuah kota yang beberapa dasawarsa yang lalu hanyalah sebuah kawasan kecil yang kumuh, yang masyaratkatnya hanya hidup dengan memancing, menyelam, dan berjualan mutiara laut. Sejak tahun 2000, penduduknya pun berlipat ganda, baik di Dubai maupun Uni Emirat Arab UEA), sebuah kesaksian tentang pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Namun, bukan pemandangan tersebut yang berubah secara dramatis, yang semula gurun terik dan tandus menjadi sebuah kota modern dengan bangunan-bangunan kaca, mal-mal besar dengan pusat hiburan mewah (termasuk sebuah resor ski indoor), sistem jalan tol dengan jalan layang, terowongan, dan kawasan bawah bawah. Yang berubah justru adalah cara hidup mereka, dari kecepatan alami yang dikendalikan oleh posisi matahari di langit menuju ritme berkecepatan tinggi yang ditentukan oleh sebuah tombol menuju dunia global. Kehidupan di Dubai terhubung oleh telepon seluler dan satelit, sistemnya didukung oleh Internet broadband, dan sekarang kota ini dipenuhi mediamedia, Internet, dan ‘kota-kota’ pengetahuan’ (sebagaimana yang mereka sebut) yang dibangun menjadi tuan rumah terbesar di dunia, serta dilengkapi dengan perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi terkenal. Setiap tahun Dubai menyelenggarakan Gulf Information Technology (IT) Exhibition (Gitex), salah satu dari tiga pameran IT terbaik di dunia, yang berlangsung lebih dari empat hari dan berhasil menarik sekitar 150.000 pengunjung ke Dubai International Convention dan Exhibition Centre yang luasnya lebih dari 30.000 meter persegi (setara 6 lapangan sepakbola), di mana 2.700 perusahaan menyajikan produk inovatif. Wi-fiBluetooth, dan Blackberry juga mulai merasuki gaya hidup kaum muda dan penduduk kota ini.

Saya tinggal di Sharjah, yang berdekatan dengan Dubai. Dengan setengah juta penduduk, wilayah ini hanyalah setengah dari kota saudaranya yang terkenal itu, namun juga sangat berbeda. Dubai berkembang dalam aktivitas perdagangan dan berteknologi tinggi, sedangkan Sharjah bangga dengan wawasan budaya mereka, dengan puluhan akademi, lembaga-Iembaga tinggi, dan universitas-universitas, serta belasan museum dengan berbagai ukuran, termasuk museum kecil sains dengan planetarium mini. Sharjah juga kota yang agak konservatif.

Ras AI Khaimah adalah sebuah kota dan emirat yang kecil, sekitar 80 kilometer di sebelah timur Sharjah. Kota ini juga telah memulai program percepatan pembangunan ekonomi, tetapi ukuran dan levelnya nyaris tidak bisa dibandingkan dengan sebuah kota kecil di Eropa atau Amerika Utara. Meski demikian, Ras AI Khaimah memiliki cabang universitas besar Amerika, George Mason University, sejak 2005; yang lebih memukau, pihaknya telah menandatangani perjanjian dengan Space Adventures Co untuk menyediakan tempat bagi wisatawan dan penerbangan komersial ke ruang angkasa.

Abu Dhabi, ibukota negara yang terletak sekitar 170 kilometer barat Dubai-Sharjah, menyajikan pemandangan lain yang berkilauan dari kaca, logam, dan bangunan beton tersebar sepanjang pantainya yang indah. Meskipun kota ini jauh di belakang Dubai dalam hal kegiatan ekonomi dan perdagangan global, baru-baru ini kota tersebut telah mengawali program ambisius dalam bidang pembangunan budaya, membuka universitas-universitas baru, hotel mewah ‘bintang tujuh’ untuk menyaingi Dubai, dan beberapa kompleks museum menakjubkan dalam Proyek Pulau Saadiyat, cabang Louvre pertama yang dibuka di luar Perancis, sebuah museum Guggenheim di Abu Dhabi, dan beberapa pusat pertunjukan dan seni yang lain.

UEA, dalam beberapa hal, mirip dengan Amerika Serikat -tentu saja dengan beberapa perbedaan utama. Keduanya adalah negara-negara federal, disatukan oleh beberapa pendiri visioner. Keduanya sebagian besar terdiri dari tanah-tanah imigran, meskipun Amerika Serikat memberikan hadiah kewarganegaraan dan membuat jutaan orang melebur dalam satu wadah setiap tahunnya, sedangkan UEA tidak. Keduanya memiliki negara-negara bagian yang bercorak konservatif dan liberal, meskipun UEA tidak memiliki ‘budaya perang’. Dubai, seperti New York, tentu saja kota liberal berwarna ‘biru’, dan begitu juga Ajman sampai batas tertentu (mirip New Jersey). Sharjah merupakan negara emirat yang sangat ‘merah’ di UEA, dan Abu Dhabi, mungkin, seperti Texas, merupakan negara yang cukup konservatif. Dubai dan Abu Dhabi adalah kota-kota yang kaya; Sharjah adalah kota moderat dalam pendapatan dan proyek-proyeknya. Sementara itu, emirat-emirat lain hanyalah kota-kota dengan sumber daya yang minim.

Sekarang, berbeda dengan pembangunan yang menakjubkan itu, kita bisa melihat level perkembangan manusia dan sains yang sangat menyedihkan. Memang benar bahwa UEA adalah negara yang sangat muda, setelah mencapai kemerdekaan dan penyatuannya kurang dari 40 tahun yang lalu, dan ia harus membangun semua lembaganya, termasuk pendidikan, mulai dari awal. Jadi, kita tidak bisa berharap ia mampu menghasilkan kemajuan sosial, kultural, dan intelektual yang sebanding dengan negara-negara maju. Lagi pula, kemajuan material memang jauh lebih mudah dicapai daripada pembangunan manusia. Namun, seperti yang telah saya catat sebelumnya, UEA dihuni oleh begitu banyak imigran, sebagian besar di antaranya adalah profesional terdidik, mulai dari para pengajar hingga insinyur, dokter, dan profesor-profesor universitas. Artinya, kita bisa berharap munculnya kualitas bahkan kuantitas dari pembangunan budaya dan intelektual di kota ini, namun itu semua rasanya bergerak terlalu lambat.

Kisah kontras antara pembangunan material dan intelektual, dan antara kemajuan teknologi dan ilmiah yang saya sajikan di sini bukanlah tentang UEA saja, melainkan secara umum juga melanda dunia Arab atau bahkan dunia Islam. Memang, kesimpulannya hampir sama jika saya berpindah narasi dari negara ini ke negara-negara Arab atau Islam lainnya. Meskipun tidak begitu mencolok, laju pembangunan material di UEA memang tak tertandingi dalam sejarah dunia, namun tingkat keterbelakangan intelektualnya memiliki banyak kesamaan.

Sains dan Alquran dalam Masyarakat Muslim Dewasa ini

Izinkan saya mengawali pembahasan ini dengan menyajikan contoh-contoh terbaru untuk menggambarkan dan menyoroti kemunduran ilmiah yang terjadi di masyarakat Arab atau Islam saat ini. Pada Desember 2006, “Konferensi Kedelapan I’jaz Ilmiah (Aspek-aspek Mukjizat) dalam Alquran dan Sunnah” diselenggarakan di Kuwait (di Hotel Sheraton) oleh Otoritas Dunia I’jaz Ilmiah dalam Alquran dan Sunnah. Selama beberapa hari, para pakar menyajikan 86 makalah (dalam sesi paralel) dengan topik-topik sebagai berikut:

  • I’jaz ilmiah dalam kehancuran sebab teriakan yang Mahap
  • I’jaz ilmiah dalam perbedaan antara air seni pembantu perempuan dan anak yang sedang menyusui
  • Kode kehidupan manusia sebelum lahir dan setelah kematian: tanda-tanda ilmiah di Alquran
  • I’jaz ilmiah dalam Sunnah Nabi tentang air yang tergenang. Satelit menjadi saksi kebenaran kenabian Muḥammad (Saw)
  • Penyakit dan obat dalam dua sayap lalat
  • Deskripsi ajaib penciptaan (kembali) tubuh manusia (danbukan jiwa) dari tulang ekor pada Hari Kebangkitan Keajaiban ‘turunnya’ besi (dari langit)
  • I’jaz ilmiah dalam deskripsi Alquran tentang pergerakan bayangan (bayangan bergerak).
  • Studi pengaruh penyedotan darah terhadap biologi molekuler pasien hepatitis-C
  • Keunggulan perawatan punggung melalui doa selama pengobatan dengan laser
  • Sekilas tentang i’jaz ilmiah dalam hadis Nabi tentang keunggulan Cuka

Pada April 2007, konferensi yang sama diselenggarakan di Abu Dhabi mengenai “Penyembuhan Qurani” di hotel bintang tujuh Emirates Palace. Berdasarkan laporan dari media, sebanyak 1.300 orang, termasuk beberapa pejabat, hadir di konferensi tersebut pada hari pertama. Meskipun konferensi tersebut memiliki sebuah komite ilmiah dan tampaknya terorganisasi secara profesional, saya tidak menemukan situs web khusus tentangnya, sehingga saya hanya mampu mengandalkan laporan dari media masa.

Keynote speech pembukaan diberikan kepada Profesor Zagloul Al-Najjar, mantan profesor geologi universitas yang selama bertahun-tahun sampai sekarang adalah orang yang ahli dalam wacana i’jaz. Dalam tinjauannya, ia mencela ‘dualitas’ sistem pendidikan tinggi di Dunia Muslim kontemporer, yang hasilnya -dalam pandangannya- telah dipengaruhi dan didominasi secara kultural oleh peradaban materialistik Barat. Apa yang dimaksud dengan dualitas itu adalah fakta bahwa, di satu sisi, pelatihan medis tidak menciptakan ruang bagi upaya penyembuhan Qurani, dan, di sisi lain, kurikulum teologi dan hukum Islam tidak memiliki mata kuliah medis. Hal ini kemudian, menurutnya, membuat para dokter sangat sulit menghargai peran dan nilai penyembuhan Qurani, sementara para penyembuh Qurani tidak cukup memiliki pengetahuan tentang metode dan fakta ilmiah. la meminta kerja sama yang lebih erat antara dua bidang ini dan mengharapkan bantuan teknologi modern yang lebih memadai dalam praktik penyembuhan Qurani.

Ini hanyalah hidangan pembuka saja. Pieces de resistance yang lain belum terjadi.

Izinkan saya menunjukkan beberapa hal yang penting. Satu tema utama dalam konferensi tersebut adalah efek pembacaan ayat Alquran terhadap air, yang konon menyembuhkan banyak penyakit pada pasien yang meminumnya. Beberapa pembicara, yang kebanyakan dari mereka adalah profesor universitas, menjelaskan penyembuhan ini berdasarkan ‘efek memori air’ (tentu saja, gagasan ini sudah lama diabaikan). Sebagian yang lain menjelaskan beberapa gelombang elektromagnetik yang berasal dari ‘getaran-getaran’ Alquran yang sedang dibaca, sehingga ia mampu ‘mengatur ulang’ struktur molekul air dan memberikan ‘energi’ khusus (suatu kata yang sering disalahgunakan dalam konferensi tersebut seperti pada kebanyakan forum sejenis). Sebagian lagi menyebut konsep ‘konten informasi’, yang entah bagaimana, akan diteruskan dari Alquran menuju air dan kemudian kepada pasien, terutama jika Alquran dibaca oleh orang yang saleh. Yang lain menyebut telepati, bahkan ada beberapa dari mereka yang mendasarkan klaimnya pada ‘teori’ homeopati mereka (konsentrasi obat sangat kecil dalam air yang diklaim dapat memberikan kekuatan khusus). Salah satu pembicara, seorang teknisi peralatan medis, bahkan membawa sebuah alat yang konon dapat digunakan untuk mengekstrak ‘energi penyembuhan Qurani’ yang tersimpan di dalam air untuk kemudian ditransfer ke air dengan hanya menempatkan satu jari di dalamnya dan membaca ayat-ayat dengan suara keras atau di dalam pikiran seseorang. Bahkan, perangkat tersebut, menurutnya, bisa mengubah energi menjadi informasi digital, merekamnya dan mampu mengirimkannya melalui Internet kepada siapa pun yang membutuhkannya di seantero dunia. Saya juga perlu menambahkan bahwa perangkat itu akhirnya dipuji sebagai “lompatan kualitatif dalam perkembangan imunitas psikologis, dan lompatan kuantum dalam konsep ‘I’jaz teknologi’ penyembuhan ajaib Qurani, penemuan pertama yang menggabungkan Alquran dengan teknologi modern”.

Tidak ada satu pun yang menyebutkan efek plasebo atau kemampuan pikiran dalam memicu pelepasan obat-obatan kimia sehingga dapat memberikan penyembuhan alami yang kadang-kadang terlihat cukup ajaib.

Tema utama lain dari konferensi itu adalah metode khusus yang harus digunakan untuk pengobatan kasus-kasus seperti terkena sihir, kepemilikan jin (mas bi al-jīn) dan eksorsisme, dan kejahatan mata (al-‘ain) yang diklaim sebagai gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh mata, yang kemudian terhubung dengan otak, sehingga menghasilkan pikiran jahat.

Membaca laporan tersebut, saya tersentak bahwa semua ini adalah informasi yang disajikan di sebuah konferensi internasional abad ke-20 dan bukan dalam pertemuan zaman gelap Abad Pertengahan.

Dengan mengadopsi serangkaian resolusi, konferensi ini pun akhirnya ditutup dengan merekomendasikan kepada pihak berwenang untuk mengatur klinik-klinik pemerintah dalam menjalankan praktik penyembuhan Qurani, yang di dalamnya para pasien bisa mengunjungi praktisi-prakktisi berpengalaman dan terdidik. Konferensi tersebut juga menyerukan kementerian kesehatan dan agama untuk membentuk komisi bersama, yang salah satu tugasnya adalah memberikan sertifikasi khusus untuk penyembuh Qurani, yang telah menjalani ujian terlebih dahulu.

Dalam buku Characteristics of the Noble Quran (sekarang sudah edisi ke-10), Fahd Ar-Rūm i, profesor Studi Alquran di College ofTeachers Riyadh, Arab Saudi, menjelaskan argumennya tentang penyembuhan Qurani. Ia mengatakan bahwa pertama-tama, Alquran telah meresepkan pengobatan preventif untuk penyakit fisik dan psikologis dengan melarang daging babi, homoseksualitas, dan perzinaan. Kemudian ia menambahkan: “Namun, penyembuhan Qurani menjadi benar-benar menakjubkan ketika kitab itu sendiri menjadi obat untuk penyakit, bukan dengan resep kedokteran”. Di beberapa halaman selanjutnya, ia pun menambahkan bahwa membaca Alquran dapat menyembuhkan umat Islam (dan hanya penganut Islam saja) dari berbagai penyakit. Ia membenarkan pendapat ini dengan ayat ayat berikut: ‘Dan Kami wahyukan Alquran sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang yang beriman’ (QS Al-Isrā’, 17: 82); ‘Katakanlah, Ini (Alquran) adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman’ (QS Fuṣṣilāt, 41: 44) dan ‘Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman’ (QS Yūnus, 10: 57); ayat-ayat ini sangat kontras dengan ayat ‘Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia’ (QS An-Naḥl, 16: 69). Setiap pembaca harus memahami bahwa penyembuhan yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas adalah penyembuhan ruhani, bukan ragawi, karena kata ‘penyembuhan’ selalu dikaitkan dengan ‘kemurahan’, ‘bimbingan’, dan ‘dada’.

Agar bersikap adil, saya harus menyatakan bahwa para ulama Islam arus utama yang lain mengutuk pendekatan ‘gado-gado’ semacam ini untuk topik-topik ilmiah, khususnya dalam bidang kesehatan. Namun, kenyataannya, ramuan agama-sains seperti di atas sudah tersebar luas bahkan merata di kalangan masyarakat dan sebagian besar kalangan elite terdidik. ‘Persoalan kuantum’ di sini kemudian telah masuk ke dalam kondisi yang kacau.

Sains, Metodologi, dan Pendidikan

Pada Mei 2007, sekolah anak-anak saya mengundang saya untuk menjadi seorang juri dalam pameran sains yang untuk pertama kalinya mereka adakan. Saya pun menerimanya dengan senang hati. Uniknya, acara tersebut diselenggarakan oleh dua orang guru saja, yang mendampingi sekitar seratus siswa (dari kelas 7 sampai 9) selama lebih dari sebulan. Kedua guru tersebutjuga menyusun rencana tentang bagaimana menginisiasi pembelajaran unggul. Saya tidak cukup memuji kedua guru tersebut atas usaha heroik yang mereka lakukan. Namun, keberhasilan inisiatif mereka telah menunjukkan sebagian besar kondisi masyarakat kita. Karena itulah, saya ingin menjelaskannya secara singkat di sini.

Pertama, meskipun sebagian pekerjaan dan proyek menunjukkan bahwa setidak-tidaknya beberapa siswa memahami gagasan inti sains, suatu penyelidikan sistematis atas fenomena atau pikiran orang lain, namun kebanyakan mereka tidak menunjukkan pemahaman apa pun mengenai sains. Misalnya, seorang siswa memperlihatkan ‘eksperimen’nya, yang terdiri dari susu, pewarna makanan, dan deterjen cair yang dicampur jadi satu, lalu mengamati pola yang muncul dalam susu yang sudah diwarnai itu.

Ketika saya bertanya, “Jadi, apa yang ingin kamu ketahui dengan ini, atau apa yang kamu pelajari dari hal ini?” Dia hanya bergumam: “Tekanan permukaan”. Namun, setelah saya selidiki lebih lanjut, saya menyadari bahwa ia tidak tahu artinya. Ironisnya, tidak ada pejabat sekolah yang hadir dalam kegiatan itu meskipun pameran berlangsung di gedung olah raga dan berlangsung selama beberapa hari. Hanya sebagian kecil orangtua saja yang menghadiri pameran itu, padahal semua orang telah diberitahu tentang tanggal dan tempat -setidak-tidaknya sekali melalui SMS- dan melalui pemberitahuan regular yang telah kami terima tentang proyek-proyek tersebut dan inisiatif lain pada umumnya.

Tiga hari kemudian, sekolah tersebut menyelenggarakan kompetisi menghafal sebanyak mungkin surah Alquran. Dalam kegiatan ini, hampir semua siswa berpartisipasi. Bahkan, sekitar 200 orang tua menghadiri pembagian hadiah untuk kegiatan itu. Media pun diundang, bersama beberapa tamu kehormatan. Ratusan hadiah juga dibagi-bagikan pada saat itu.

Saya tidak menolak kompetisi hafalan Alquran itu. Saya hanya bisa memikirkan beberapa aspek positif dari latihan itu. Anak saya ikut serta dalam kompetisi itu, dan meskipun ia belum meraih juara pertama, ia masih menerima hadiah uang tunai sekitar US$ 55, yang baginya merupakan jumlah yang besar. Saya juga harus memberitahukan bahwa anak saya juga berpartisipasi dalam pameran sains, dan meskipun saya tidak membantunya sedikit pun dalam menyusun proyeknya, dan tentu saja tidak mencoba mempengaruhi proses penjurian agar meguntungkan dia, timnya memenangkan salah satu hadiah utama, dan anak saya menerima piala dan hadiah kecil, yang secara keseluruhan berjumlah sekitar $ 25. Saya memperkirakan anggaran seluruh pameran sains sekitar US$ 1.000, sementara anggaran untuk lomba menghafal Alquran diperkirakan mencapai US$ 20.000 (hampir seluruhnya berasal dari sponsor).

Apa yang saya kritisi dalam urusan ini bukan hanya fakta bahwa kegiatan menghafal Alquran diberikan waktu, sumber daya, dan perhatian 20 kali lebih penting daripada pameran sains, melainkan juga sifat kompetisi itu sendiri. Tak satu pun dari para tamu, mulai dari orang tua hingga guru, pejabat sekolah, dan tamu kehormatan, yang terganggu oleh fakta bahwa tidak ada satu pun dari siswa-siswa tersebut yang ditanya apakah mereka sudah berusaha memahami salah satu surah yang mereka hafal; apakah mereka telah melakukan penelitian pada materi-materi itu, seperti membandingkan tafsir atau terjemahannya. Apalagi, sekolah tersebut adalah sekolah bilingual, yang menerapkan kurikulum ganda Arab-Inggris. Kompetisi ini seharusnya menjadi latihan yang bagus untuk meneliti kosakata Alquran dalam bahasa Inggris, atau membandingkan satu tafsir klasik dari surah yang dihafal dengan fenomena modern, dan sebagainya. Sayangnya, semua itu tidak ada. Seluruh kompetisi yang berlangsung selama beberapa bulan itu (dan diulang-ulang dari tahun ke tahun) hanya berisi hafalan dan hafalan.

Tidak mengherankan jika kemudian saya mendapati sebagian -jika tidak semua-mahasiswa universitas lemah dalam kemampuan berpikir kritis dan analitis. Tidak heran pula bahwa kurang dari 10 persen mahasiswa saya yang mengetahui, setelah masuk program Pengantar Astronomi, perbedaan antara bintang dan galaksi atau antara usia bumi dan usia alam semesta. Tidak heran jika sepanjang semester -karena saya mengajari para mahasiswa beberapa pengetahuan dasar astronomi- mereka terus menantang saya dengan mengatakan: “Tapi, Alquran mengatakan bahwa Matahari bergerak menuju ‘tempat peristirahatan’” atau “Tapi Alquran mengatakan bahwa bulan pernah terbelah dan disatukan kembali di hadapan orang-orang pada masa Nabi.”

Saya tidak akan mampu menjawab semua pernyataan tersebut dalam tulisan ini. Ada terlalu banyak pertanyaan seperti itu dari mereka, dan saya pasti membiarkannya. Tidak peduli berapa kali saya membahasnya, saya akan selalu kembali ke isu-isu penting mengenai hakikat sains itu sendiri, hakikat teks Alquran dan interpretasinya, dan hubungan antara Alquran dan sains.

Saya ingin kembali ke contoh ‘bulan terbelah’ yang sering ditanyakan mahasiswa pada saya. Pada kesempatan terakhir, seorang mahasiswa mengajukan pertanyaan tersebut di kelas dan tampaknya ia tidak puas dengan jawaban saya, sehingga satu atau dua hari kemudian ia mengirim e-mail kepada saya yang isinya gambar dan beberapa slide dari presentasi power point yang ia temukan di website -dengan mesin pencari google- moon splitting (‘bulan terbelah’) muncul dalam 12.500 halaman dalam Bahasa Inggris dan lebih dari 100.000 halaman dalam Bahasa Arab.

NASA menunjukkan garis berbatu yang membuktikan bahwa di suatu hari bulan pernah terbelah. Cerita mengenai bagaimana orang-orang Makkah menantang Muḥammad  untuk menunjukkan kepada mereka suatu mukjizat sebagai bukti kenabiannya, dan kemudian bulan terbagi menjadi dua bagian; orang Makkah kemudian berkata: “Muḥammad  telah memainkan sihir”. Namun, slide itu kemudian mencatat bahwa orang-orang dari desa lain memang membenarkan terbelah bulan tersebut, dan begitu pula dalam QS Al-Qamar, 54: 1-2.

Slide-slide itu kemudian menghubungkannya dengan kisah di bawah ini. Dalam satu kuliah di sebuah universitas Inggris, Profesor Zaghloul AI-Najjar (seorang ahli di bidang i]az] mengatakan bahwa keajaiban tentang bulan terbelah telah terbukti bam-bam ini, dan menceritakan kisah berikut.

Seorang Muslim dari Inggris bernama Dawood Musa Pitcock, yang sekarang menjabat Presiden Partai Islam Inggris dan berniat berpartisipasi dalam pemilu di bawah bendera Islam, mengatakan bahwa ketika sedang mencari agama yang benar, ia diberi terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris oleh seorang teman. Ketika membukanya, ia melihat surah ‘Bulan’ (QS AI-Qamar, 54) dan membaca beberapa ayat pertama. la lalu bertanya pada dirinya sendiri: “Apakah Bulan pernah terbelah?” la pun menyingkirkan Kitab tersebut dan tidak membukanya lagi. Suatu hari, ia menonton sebuah program TV di BBC Channel, di mana presenter itu mengkritik tiga ilmuwan Amerika atas fakta bahwa Amerika Serikat telah menghabiskan jutaan dolar, atau lebih tepatnya miliaran dolar, untuk melakukan proyek eksplorasi ruang angkasa, sementara jutaan manusia mati kelaparan. Para ilmuwan itu membenarkan program luar angkasa itu, yang manfaatnya adalah untuk pertanian dan industri. […] Misi luar angkasa itu juga disebut-sebut telah menghabiskan biaya luar biasa US$ 100 miliar, sehingga presenter bertanya kepada mereka: “Semua uang ini hanya untuk menempatkan bendera Amerika di bulan?” Para ilmuwan menjawab bahwa salah satu hal penting yang mereka temukan saat mempelajari persamaan dan perbedaan antara bulan dan bumi adalah tali bebatuan yang telah berubah, yang menyebar dari permukaan bulan melalui pusatnya dan keluar ke permukaan lagi [di sisi lain]. Ketika kami menunjukkan fenomena ini kepada ahli geologi, mereka menyimpulkan bahwa satu-satunya penjelasan untuk bukti ini adalah bahwa pada suatu hari bulan memang pernah terbelah dan terpasang kembali. dan tali pengikat ini pastilah bukti benturan penyatuan kembali tersebut.Dawood Musa Pitcock menyelesaikan ceritanya dengan mengatakan: “Saya pun melompat dari kursi saya, dan berseru ‘inilah mukjizat Muḥammad  di gurun 1.400 tahun yang lalu… Tuhan telah menuntun orang Amerika untuk memastikan kepada umat Islam. Tidak diragukan lagi bahwa inilah agama yang benar…’”.

Profesor Al-Najjar menambahkan bahwa surah Alquran ini merupakan alasan mengapa Pitcock pada akhirnya memeluk Islam.

Saya harus mengingatkan pembaca bahwa Profesor AI-Najjar menghabiskan kehidupan profesionalnya sebagai profesor geologi universitas, sehingga sangat mengejutkan ketika mengetahui bahwa ia telah menghubungkan cerita-cerita di atas tanpa memeriksa fakta-faktanya pada NASA, BBC, atau sumber kredibellainnya, dan tidak bertanya kepada dirinya sendiri kapan peristiwa geologis semacam itu terjadi pada masa lalu. Jadi, harus dimaklumi jika para mahasiswa saya kemudian membuat pernyataan penting yang serupa dengan profesor universitas itu (tentang bulan terbelah).

Penjelasan: Apa yang menyebabkan lekukan panjang di Bulan? Pertama kali ditemukan lebih dari 200 tahun yang lalu dengan teleskop kecil, retakan panjang dan kecil di bulan (rille) itu muncul di seluruh permukaan bulan. Ada tiga jenis lekukan yang saat ini diakui: (1) lekukan berliku-liku, yang memiliki banyak kurva berkelok-kelok; (2) lekukan arkuata, yang membentuk sapuan busur; dan (3) lekukan lurus, seperti Lekukan Ariadaeus. Lekukan lurus seperti Lekukan Ariadaeus itu memiliki panjang hingga ratusan kilometer. Lekukan berliku-liku sekarang dianggap sisa-sisa aliran lava kuno, sementara asal-usul lekukan arkuata dan lurus masih menjadi topik penelitian.

Ah! Tapi kemudian saya masih harus meyakinkan para mahasiswa saya dan orang-orang lain bahwa astronot NASA telah melakukan pendaratan di bulan.

Sekarang, pertanyaannya adalah apakah ada penjelasan rasional untuk cerita ‘bulan terbelah’ ini, yang telah menyemangati jutaan umat Muslim akhir-akhir ini, baik ‘pakar’ maupun awam? Pertama-tama, saya harus menunjukkan bahwa mereka yang sangat membela ‘keajaiban ilmiah’ Alquran pun telah memperingatkan bahwa ayat-ayat tersebut mungkin sekali mengacu pada peristiwa di masa depan yang berkaitan dengan Hari Kiamat. Al-Jamīlī mencatat bahwa tidak ada bukti bulan pernah terbelah dalam sejarah astronomi meskipun -ia menekankan- hal ini tidak menafikan kemungkinan mukjizat Nabi Muḥammad . Akan tetapi, banyak penulis lainnya membenarkan kisah mengenai bulan terbelah ini sebagai suatu fenomena fisik, seraya mendukung kesaksian orang-orang Makkah pada malam itu.

Ada cerita yang mirip dengan peristiwa ‘bulan terbelah’. Kisah ini terjadi Inggris pada tahun 1178. Cerita yang dikenal dengan ‘Sejarah Gervase dari Canterbury’ ini mengisahkan sekelompok orang yang pada 18 Juni 1178 “telah melihat tanduk atas bulan sabit terpisah oleh api.” Kisah ini juga menyebutkan bahwa lima saksi mata melihat tanduk atas bulan tersebut yang terang, bulan sabit yang baru “tiba-tiba terbelah dua”. Ada juga laporan yang sangat berkaitan dengan peristiwa serupa, yang tercatat pada puisi dan pahatan batu suku Maori di Selandia Baru pada waktu yang sama dengan peristiwa tahun 1178 di Inggris. Puisi itu berbicara tentang “bulan baru dengan tanduk bawah bulan terbelah” (ingat bahwa Selandia Baru berada di belahan bumi selatan). Peristiwa itu, yang terus membingungkan para sejarahwan dan ilmuwan, kemudian ditafsirkan sebagai fenomena terhantamnya bulan oleh meteor besar, sehingga menghasilkan sejumlah lontaran batu. Sementara itu, peristiwa tahun 1178 dikaitkan dengan kawah Giordano Bruno sepanjang 22 kilometer di atas bulan.

Mungkinkah fenomena bulan terbelah ini (setidak-tidaknya di kalangan umat Islam) lebih dianggap sebagai peristiwa akibat meteoroid besar, efek yang bisa saja tergambar dalam bentuk terbelahnya bulan? Sigismondi dan Imponente (dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2000) mengatakan bahwa bulan baru adalah salah satu dari tiga prasyarat yang paling relevan untuk peristiwa tersebut. Itu akan menjelaskan mengapa fenomena bulan terbelah tidak akan terlihat seperti yang dilaporkan oleh banyak orang di daerah-daerah jauh, terutama karena peristiwa langka menghasilkan sejumlah besar energi. Di sisi lain, beberapa ilmuwan telah mengatakan bahwa karena frekuensi dampak tersebut sangat rendah, maka tabrakan itu dimungkinkan terjadi setiap beberapa jutaan tahun, bukan hanya satu atau dua milenium. Namun, lagi-Iagi kita juga bisa keliru mengenai seluruh kasus ini maupun deskripsinya.

Sains yang lebih Serius – Wacana Islam Dewasa Ini

Contoh-contoh yang saya sebutkan pada bagian-bagian sebelumnya -dan contoh-contoh lain yang sejenis- dengan jelas memperlihatkan masalah sains dan pendidikan di masyarakat Arab atau Islam saat ini. Bukan hanya tentang diabaikannya fakta-fakta dasar ilmiah yang sangat luas, melainkan juga diremehkannya hakikat sains, metodologi, lingkup validitas, dan keterbatasan-keterbatasan di dalamnya. Saya tidak seharusnya menyesatkan pembaca untuk berpikir bahwa sains dalam pikiran umat Islam dewasa ini bukanlah sekumpulan perangkat berteknologi tinggi yang digunakan agar kehidupan seseorang lebih mudah dan lebih menyenangkan, atau serangkaian ide yang dapat dikutip dan digunakan sesukanya, tanpa memerhatikan aturan-aturan metodologis yang mendasarinya. Pada hakikatnya, sudah ada suara-suara serius yang selama bertahun-tahun ini ditujukan untuk merekonstruksi pemahaman Muslim dan interaksinya dengan sains. Akan tetapi, suara-suara tersebut terlalu sedikit, terputus-putus, dan seringkali sumbang  bahkan untuk membuatnya mereka didengar, apalagi mampu memengaruhi sikap publik Muslim terhadap sains dewasa ini. Apalagi, sudah berapa banyak orang yang saat ini mendengar nama-nama seperti Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, atau Mehdi Golshani? Memang benar bahwa pemenang Hadiah Nobel Abdus Salam dan Ahmed Zewail telah membuat diri mereka terkenal, tetapi sedikit sekali orang yang tahu mengapa mereka mendapat penghargaan itu. Jarang sekali yang menegaskan bahwa keduanya telah melakukan semua upaya penelitiannya di Barat, dan nyaris tidak ada satu pun yang bertanya tentang filosofi sains dan agama mereka.

Salah satu tujuan utama dari buku ini adalah untuk memperdengarkan suara-suara ini kepada publik, terutama mereka yang sedang mempelajari filsafat ilmu dan menghubungkannya dengan Islam secara serius. Buku ini juga dimaksudkan untuk menghidupkan kembali diskusi tentang peran dan status sains dalam masyarakat Muslim. Tujuan lainnya adalah berusaha menunjukkan bahwa sintesis harmonis antara sains modem dan Islam pada hakikatnya bisa diusahakan, dalam versi sains teistik, di mana Islam dapat bergandengan tangan dengan tradisi monoteistik lainnya, khususnya Kristen, yang akhir-akhir ini telah menghasilkan para pemikir yang bekerja keras untuk menemukan solusi atas berbagai masalah yang akan didiskusikan nanti. Wacana yang cerdas dalam interaksi Islam-sains sangat mungkin terjadi; ada banyak pilihan yang bisa ditempuh-mulai dari pengikut sekular (Pervez Hoodbhoy, Taner Edis), para mistikus (S.H. Nasr, Osman Bakar), hingga neo-tradisionalis (Muzaffar Iqbal). Masalah kuantum semacam ini dapat diselesaikan, atau setidak-tidaknya bisa ditangani secara meyakinkan, tanpa ada pemisahan atau penolakan (baik terhadap tradisi maupun modrnitas).

Buku Ini

Buku ini bertujuan untuk menyajikan bukan hanya filsafat Islam dan sains yang brilian, melainkan juga sintesis logis antara prinsip-prinsip sains dan prinsip-prinsip Islam, melalui pembacaan yang masuk akal (tidak terlalu liberal). Saya akan menunjukkan bahwa kita semua perlu membangun sebuah model harmoni ‘kuantum’ (ganda), yang dipenuhi dengan pengetahuan sains, filosofinya dan metode-metodenya -tidak tunduk pada doktrin-doktrin positivistik dan materialistik- serta pendekatan moderat terhadap Islam, seraya menjauh dari pendekatan tradisionalis dan menolak sikap ultra-liberal. Untuk mencapai semua ini, dibutuhkan sebuah rekonstruksi yang cermat.

Itulah sebabnya mengapa bagian pertama buku ini, yang terdiri dari lima bab dan berjudul “Hal-hal Fundamental”, dimulai dengan bab tentang Allah, dan kemudian mengenai Alquran, sebelum pindah ke pembahasan tentang sains (lebih dari dua bab) dan kemudian membedah secara kritis ‘teori’ i’jaz’. Bab-bab ini berguna dan bahkan diperlukan tidak hanya bagi para pembaca Barat yang mungkin tidak begitu akrab dengan prinsip-prinsip utama Islam, tetapi juga untuk khalayak Muslim yang mungkin perlu diyakinkan bahwa saat ini dibutuhkan sebuah rekonstruksi dan sintesis yang wajar (terhadap Islam).

Selanjutnya, disajikan dua bab tentang sains yang menjadi pembahasan pokok. Bab pertama (Bab 3) menjelaskan berbagai metodologi dasar sains -dan keterbatasan-keterbatasannya, dan menunjukkan bagaimana sains tidak boleh dikacaukan dengan saintisme (sebuah doktrin yang mengklaim bahwa sains merupakan satu-satunya sistem untuk menjelaskan segala sesuatu). Dalam bab kedua (Bab 4), dijelaskan mengenai keabsahan ‘sains teistik’ sebagai suatu versi sains modem, ketat dalam segala hal, namun terkerangkai oleh suatu pandangan dunia teistik. Bab terakhir dari bagian pertama ini (Bab 5) kemudian memperlihatkan garis demarkasi ‘sains teistik’ untuk mencegahnya dari pembajakan. Bab ini memang ditujukan untuk menunjukkan bagaimana sesuatu pada awalnya mempakan gagasan yang biasa-biasa saja, yakni ‘sains yang dimasuki tafsir Alquran’, dengan cepat menjadi absurd dalam bentuk I’jaz (konten ilmiah yang menakjubkan) dari Alquran dan Sunnah. Setelah menyajikan tinjauan sejarah perkembangannya, saya akan menunjukkan bagaimana sebagian besar teori I’jaz ini cacat, baik secara metodologis maupun faktual, dan bagaimana kondisi ini bisa diperbaiki.

Semua landasan epistemologis di atas dipedukan sebelum kita memulai suatu upaya ambisius untuk menjawab pertanyaanpertanyaan serius mengenai sains dan agama/Islam hari ini, yakni kosmologi, rancangan (desain), prinsip antropik, dan evolusi.

Oleh karena itu, bagian kedua dari buku ini mencurahkan satu bab khusus untuk masing-masing topik tersebut. Dalam setiap bab ini, pertama-tama saya akan meninjau pengetahuan terkini tentang topik-topik tersebut yang umumnya berasal dari sumber-sumber Barat. Selanjutnya, saya akan melakukan usaha-usaha serius untuk mencari dan menghubungkannya dengan sudut pandang Islam, sehingga memungkinkan saya untuk membangun suatu sintesis yang masuk akal bagi pembaca.

Bagian ketiga akan dikhususkan untuk mempertimbangkan isu-isu mengenai sains dan Islam yang dibutuhkan oleh para pemikir Muslim guna menghadapi masa depan. Saya akan mengakhiri dengan satu epilog berkaitan dengan percakapan panjang saya dengan para mahasiswa tentang berbagai aspek dalam Islam dan sains -sebuah percakapan yang membuat saya harus berhati-hati melihat masa depan. Satu komentar terakhir sebelum masuk ke dalam isi buku ini: Saya harus menekankan bahwa meskipun disusun secara agak linear, buku ini memungkinkan pembaca untuk membaca bab-bab secara independen. Tergantung pada minat dan latar belakang, pembaca dapat melewati beberapa bagian ke bagian yang lain. Meski demikian, tentu saja saya berharap para pembaca yang sudah berpengalaman sekalipun akan tertarik untuk mengikuti keseluruhan alur cerita unik dalam buku ini.

Hal ini akan menjadi petualangan intelektual yang menyenangkan bagi kita, karena saya tahu bahwa pembaca akan menemukan banyak ide dan contoh yang cukup mengejutkan, mengenai topik yang begitu beragam, yang mencakup periode berabad-abad, kebudayaan yang beragam, dan para pemikir lintas-zaman. Saya berharap semua orang bisa menemukan hal-hal baru yang menarik di sini.

 

 

 

Back to top button