artikel

The Afghan Chapel: Pusaka umat Islam di Australia Selatan (Ridwan Hasibuan)

Di Little Gilbert St, Adelaide terletak sebuah saksi usaha dan do’a kaum Muslimin yang pernah berkiprah di bumi Allah di bagian Australia Selatan ini. The Afghan Chapel atau masjid yang lebih dikenal dengan nama yang sederhana, Adelaide Central Mosque, adalah masjid tertua ke-dua di Australia. Marree Mosque di kota Marree (685km di utara Adelaide) dibangun pada tahun 1861 sementara Masjid Adelaide mulai dibangun pada tahun 1887. Masjid Marree sekarang sudah beralih fungsi sebagai museum. Masjid Adelaide dirintis oleh seorang penjaga unta atau Cameleer dari Tarin, propinsi Uruzgan di Afghanistan yang bernama Haji Mullah Merban.

Para Cameleers mulai didatangkan pemerintah Australia mulai dari tahun 1860an sampai ke tahun1930an. Mereka dipanggil Afghan walaupun kenyataannya mereka datang dari berbagai daerah di Aghanistan, Baluchistan, dan India. Mereka adalah skilled migrant yang sangat dibutuhkan bagi Australia pada saat itu. Bagian pedalaman Australia yang mayoritas padang pasir hanya bisa di tempuh dengan unta. Atas jasa mereka, kebutuhan komunitas-komunitas di pedalaman Australia seperti makanan, air, dan banyak kebutuhan dasar lainnya bisa terpenuhi. Mereka berjasa menghubungkan satu kota dengan kota yang lainnya. Kontribusi mereka yang sangat penting diantara lain: eksplorasi, pembangunan jaringan telegraf, dan rel kereta api. Namun para Afghan ini seringkali dikucilkan pada pendatang Eropa atas dasar warna kulit dan agama. Akibat diskriminasi, seringkali prestasi mereka tidak diakui dan dicatat dengan baik.

Haji Mullah Merban adalah salah satu cameleer yang paling pertama di Australia Selatatan. Dengan harta yang seharusnya cukup untuk membawana pulang ke tanah air, beliau memilih untuk membangun sebuah masjid, sebuah community centre, rumah bagi fakir miskin, para cameleer yang sudah tua renta. Haji Mullah Merban mempercayakan pembangunan masjid kepada Abdul Wahid, dari Quetta Afghanistan. Pembangunan masjid Adelaide memakan biaya £450 dan semuanya berasal dari sumbangan. Berdasarkan koran The Advertiser tahun 1890, umat Islam di Melbourne pun turut membantu menggalang dana. Di tahun 1903 empat menara ditambahkan.

Masjid Adelaide juga mengundang perhatian masyarakat lokal. Sebuah artikel koran The Observer tahun 1894 melaporkan perayaan “Hadji Day” dan “Aeedul Fitar” yang meriah dimana diantara 60-80 orang di kabarkan hadir dari berbagai pelosok Australia Selatan. Jemaah shalat Jum’at pada saat itu biasanya berjumlah 20-40 orang.

Salah satu ujian yang paling sulit yang pernah dialami para Afghan ini adalah di masa perang dunia pertama, dimana Kekhalifahan Ottoman memihak kepada Jerman melawan Inggris dan sekutunya. Pada tahun 1915 terjadi peristiwa Battle of Broken Hill, di mana dua orang AfghanMullah Abdullah dan Badsha Mohammad Gool menembaki kereta api yang dipenuhi dengan rakyat sipil termasuk wanita dan anak-anak. Keduanya berdalil menjalankan tugas agama untuk berperang di bawah kekhalifahan di Ottoman. Peristiwa ini memakan 6 korban jiwa. Kepolisian sendiri menganggap perbuatan ini murni kriminal dengan unsur balas dendam Mullah Abdullah atas perlakuan seorang petugas pemerintah yang dianggapnya semena-mena. Insiden ini menambah ketegangan di antara para Muslim Afghan dengan rakyat Australia. Di dalam situasi yang seperti ini Masjid Adelaide terpaksa ditutup selama beberapa tahun agar tidak dijadikan target pelampiasan masyarakat.

Pada saat yang sama, pemerintah Australia menjalankan kebijakan imigrasi yang restriktif. Akibat kecemburuan sosial terhadap kesuksesan dan berkembangnya komunitas Cina di Australia di era Gold Rush (pertengahan sampai ke akhir abad ke 19), pada tahun 1901, Australia mengeluarkan kebijakan White Australia Policy dimana hanya imigran kulit putih berbudaya Eropa saja yang diperbolehkan untuk masuk dan tinggal di Australia. Akibat kebijakan ini pula banyak para cameleer yang terpaksa pulang dan tidak di izinkan untuk tinggal. Mereka tidak diperbolehkan menjadi warga negara walaupun sudah menetap dan kawin dengan perempuan Aborigine atau Eropa di Australia selama lebih dari 30 tahun. Undang-undang yang rasis ini dikurangi secara barangsur dari tahun 1949 sampai dihapus keseluruhannya pada tahun 1966.

Akibat dari White Australia Policy dan larangan pemerintah untuk membawa istri beserta keluarga para Cameleer ini, jumlah komunitas Afghan berangsur berkurang dan hampir hilang. Sebuah artikel koran The Mail di tahun 1930 melaporkan hanya tersisa empat orang Afghan(walaupun sebenarnya ada sedikit lebih dari empat, sebuah kesalahan dari pihak jurnalis) yang sudah tua tinggal di area masjid dan sampai saat itu masih taat menjalankan shalat 5 waktu. Jurnalis itu malahan memprediksikan bangunan masjid itu akan kosong setelah orang-orang tua itu meninggal dan tidak akan ada lagi yang akan menggunakannya. Tapi atas kehendak Allah yang Maha Kuasa, di tahun 1952 sekumpulan anak muda dari Bosnia tergerak untuk mendatangi sebuah bangunan tua dan demikianlah cuplikan ceritanya:

In the Adelaide summer of 1952 a young Bosnian Muslim and his friends, newly arrived immigrants, pushed open the high gate of the Adelaide mosque As Shefik Talanavic entered the mosque courtyard he was confronted by an extraordinary sight. Sitting and lying on benches, shaded from the strong sunshine by vines and fruit trees, were six or seven ancient, turbaned men. The youngest was 87 years old. Most were in their nineties; the oldest was 117 years old. These were the last of Australia’s Muslim cameleers… Several had subscribed money during the late 1880s for the construction of the mosque which now, crumbling and decayed, provided their last refuge.”

( reCollection –  the Journal of the National Museum of Australia,2007)

Anak-anak muda ini bersama dengan pendatang-pendatang baru yang mayoritas dari Eropa dan Indonesia akhirnya mengambil alih tanggung jawab menjaga Masjid, termasuk orang-orang tua yang tinggal di situ. Warisan Islam kaum Afghan yang hampir hilang akibat White Australia Policy kini diturunkan kepangkuan anak-anak muda, hamba Allah yang berkulit putih. Subhanallah.  Pada akhirnya orang-orang tua Afghan itu meninggal dan di kuburkan di perkuburan umum Adelaide Cemetery yang letaknya tidak jauh dari Masjid, yaitu di West Terrace.  Untuk berziarah, cukup masuk dari pintu utama dan ikuti tanda “Afghan Section” dan anda akan menemukan batu-batu nisan dengan nama Afghan dan beberapa di antaranya dengan tulisan Arab.

Semoga artikel ini bisa dijadikan inspirasi dan pelajaran. Seperti para Afghan pendahulu kita ini, kita juga bisa berkontribusi secara positif kepada masyarakat Australia, tempat kita berkiprah. Walaupun terkadang kita di hadapkan dengan diskriminasi dan fitnah. Ini bukanlah hal yang baru dan akan selalu ada. Apa yang dihadapi para pendahulu kita bahkan jauh lebih berat. Para Afghan ini juga tidak pernah menyerah menegakkan Agama Allah walau miskin dan tua renta. Walaupun hampir tidak ada lagi kaum Muslim di sekitar mereka. Sesungguhnya kemenangan selalu ada di tangan hamba-hamba Allah yang sabar, yang hatinya senantiasa dekat dengan masjid, dan menjaga shalatnya.

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button