Setiap bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Muslim)
Hadits ini menekankan peran sentral orang tua dalam perkembangan agama anak. Menjadikan anak-anak kita tetap sebagai Muslim (fitrah), sayangnya, bukanlah pilihan di antara menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi, tapi adalah kewajiban, agar kita dan mereka terhindar dari siksa Allah SWT di neraka.
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka.” (At-Tahrim ayat 6)
Oleh sebab itu, orang tua perlu menyadari bahwa walaupun telah dititipkan di sekolah sebaik apapun, perkembangan agama anak-anak tetaplah menjadi tanggung jawab orang tua mereka, sedangkan sekolah hanyalah pembantu pelaksana tanggung jawab orang tua. Tulisan ini mengingatkan orang tua tentang beberapa kewajiban dasar mereka kepada anak-anaknya yang tidak bisa dipindah bebankan kepada sekolah atau orang lain, dan menyampaikan beberapa hal yang mungkin bermanfaat dalam penunaian tugas mulia namun tidak ringan ini.
Kewajiban-kewajiban dasar orang tua kepada anak, dalam rangka menjaga mereka dari api neraka, dituliskan dalam Alqur’an Surat Luqman ayat 13-19, yakni mengajarkan ketauhidan, mengajarkan menghormati dan berbakti kepada orang tua, mengajarkan ilmu tentang keagungan Allah SWT, mengajarkan sholat dan mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar, dan mengajarkan kerendahan hati dan menjauhi kesombongan. Sebagian orang tua, sayangnya, tidak menyadari bahwa hal- hal inilah dasar ilmu dan akhlak yang mesti ditanam di jiwa anak-anak mereka sebelum mengajarkan mereka ilmu lainnya.
Akibatnya, orang tua secara intuitif (atau latah) mengirimkan anak-anaknya mengha- biskan waktu mereka di lembaga-lembaga pendidikan Islam dan berbagai lembaga kursus ketrampilan. Sebagian orang tua melakukannya karena merasa kurang dalam ilmu dan amal agama, atau kekurangan waktu untuk mendidik karena komitmen kerja.
Pelajaran yang bersifat pengetahuan seperti ketauhidan dan tata cara sholat mungkin efektif dilakukan di sekolah, tapi hal-hal yang besifat akhlak, perilaku sehari-hari, seperti membiasakan sholat, membiasakan ber-amar ma’ruf nahi munkar, hormat kepada orang tua dan rendah hati hanya bisa ditanamkan melalui latihan dan bimbingan, dan tempat terpenting untuk melatih akhlak ini adalah rumah dengan orang tua sebagai gurunya.
Namun demikian, sholat tepat waktu, amar ma’ruf nahi munkar dan akhlak Islami lainnya kadang belum menjadi kebiasaan sebagian orang tua. Pertentangan antara pelajaran budi pekerti yang mereka dapatkan di sekolah dengan contoh kurang baik dari orang tua mereka ketika di rumah tentu mengganggu perkembangan akhlak mulia anak-anak.
Tapi apapun keadaan orang tua, kelahiran anak dalam sebuah keluarga adalah berkah dan hikmah yang besar dari Allah. Melalui anak, Allah SWT mendidik kita agar bukan hanya sekedar menjadi orang tua biologis, namun juga agar segera bersiap mema- tangkan diri mengambil peran sebagai pendidik akhlak anak-anak kita. Pada kenyataannya tidak pernah ada manusia di dunia yang siap menjadi orang tua, dan anak- anaklah justru guru kita yang membantu agar tumbuh menjadi orang tua yang matang bersama tumbuhnya mereka.
Kekurangan akhlak tidak bisa menjadi alasan kita berlepas diri dari tanggung jawab mendidik anak. Kita memerlukan kunci untuk memperbaiki akhlak kita agar bisa menjadi contoh yang baik bagi anak. Mungkin, salah satu kunci terbesarnya adalah komitmen. Di rumah, suami istri perlu memiliki komitmen untuk membia-sakan sholat tepat waktu, mengagungkan asma Allah, bertutur kata lembut, saling menghormati dan menyayangi, dan meng-alokasikan waktu khusus untuk mentadaburi ayat Alqur’an. Keluarga perlu juga memiliki proyek kecil kebaikan kepada tetangga. Misalnya berupa memberi bingkisan sederhana atau bantuan rutin.
Sebaliknya, pertengkaran di depan anak, ayah yang berkata kasar, atau istri yang gemar membantah suami secara tidak sengaja akan menularkan akhlak buruk pada anak, membuat anak kurang menghormati orang tuanya. Kadang-kadang suami istri tidak saling sinkron. Istri berkomitmen dalam kebaikan tapi suami tidak, atau sebaliknya. Walaupun ini kenyataan yang sulit dihindari, tapi tidak ada kata lain selain terus berusaha memperbaiki diri demi kebaikan bersama.
Di lain sisi, hampir tidak mungkin kewajiban- kewajiban pendidikan anak dalam surat
Luqman itu kita kerjakan sendirian dalam keluarga. Kewajiban mendidik anak akan lebih efektif apabila kita kerjakan bersama- sama dengan orang tua lain di lingkungan kita. Nabi SAW bersabda,
“Seseorang itu terletak pada agama teman dekatnya, sehingga masing- masing kamu sebaiknya melihat kepada
siapa dia mengambil teman dekatnya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, al-Baghawi)
Kita perlu sebanyak mungkin berkenalan, bergaul dan beraktivitas bersama dengan orang-orang sholih di sekeliling kita. Egois, tidak peduli tetangga, bukanlah jalan Islam.
Kadang rumah kita berada pada lingkungan yang asing dari Islam. Jika bisa berpindah ke tempat yang lebih Islami tentu lebih baik, tapi jika pun tidak, Rosulullah pun bertetangga dengan Yahudi dan menunaikan hak mereka. Kita bisa memanfaatkan tetangga non- Muslim untuk menanamkan akhlak berbuat baik kepada orang non-Muslim pun pada anak-anak kita.
Menjadi contoh yang baik bagi anak sungguh tidak mudah. Setelah menguatkan komitmen, berusaha di dalam rumah dan berusaha mengajak tetangga untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan Islam anak-anak, bagaimanapun keadaan kita dan anak- anak kita, baik atau kurang, hendaklah kita tidak berhenti berdoa sampai ajal menjemput kita. Memohon agar Allah menunjukkan keluarga dan anak-anak kita jalan yang lurus dan mengumpulkan kita bersama keluarga di surgaNya yang abadi.
Aamiin.