artikel

Bangga Menjadi Muslim

Arham Mauriyat

Dalam beberapa belas tahun terakhir, umat Islam di seluruh dunia dihadapkan pada stigma ‘terorisme’ dan ‘fundamentalisme’ yang dihembuskan oleh (media) dunia Barat. Hal ini kadang menimbulkan kekhawatiran bagi saudara-saudara seiman yang akan menetap di negara-  negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim seperti Australia. Namun apakah karena itu kita perlu menyembunyikan atau minimal tidak mengemukakan identitas ke-Islam-an kita?

“…seharusnya kita tidak perlu ragu dan minder memperlihatkan ke-Islam-an kita…”

Memang jika dilihat dari kacamata Islam, terdapat banyak keterbatasan, seperti sangat sedikitnya masjid, tidak adanya kumandang adzan di udara, sulitnya mencari makanan halal, sulitnya menjaga pandangan, dsb. Namun di luar semua itu, bisa dibilang jaminan kebebasan dan kesempatan yang diberikan untuk tetap menjalankan rutinitas sebagai seorang Muslim cukup besar, termasuk mendirikan shalat lima waktu, mengenakan jilbab (bagi perempuan), berpuasa sunnah, dll.Selain itu, Australia begitu multikultural sehingga tidak sulit menemukan saudara-saudari seiman dari negara-negara lain di seantero dunia. Maka jangan heran jika di pusat kota yang ramai sekalipun tampak berseliweran perempuan-perempuan berhijab.

Posisi umat Islam sebagai minoritas justru memperkuat ikatan persaudaraan dan kepedulian antar sesama Muslim tanpa tersekat oleh perbedaan ras, etnis, dan negara. Perbedaan pemahaman yang ada pada umumnya disikapi secara proporsional dan tidak menghalangi sesama umat Muslim untuk bersilaturahmi dan berhubungan baik.

Sayangnya tidak sedikit pula saudara kita yang kelihatannya malu-malu menunjukkan identitas Islam-nya; sebagian bahkan memilih berbaur dengan menggunakan atribut-atribut budaya atau agama masyarakat lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalih mereka bermacam-macam, mulai dari “menghindari fanatisme agama”, “demi toleransi”, hingga sekadar supaya tidak dicap fundamentalis (yang dianggap identik dengan teroris).

Apakah alasan-alasan tersebut bisa dibenarkan? Saya yakin bahwa seharusnya mereka, dan kita semua, bangga menyandang (dan mewujudkan) status kita sebagai bagian dari umat Islam yang mulia, dengan dasar-dasar yang akan kita tinjau berikut ini.

Keutamaan Islam
Suatu ketika, seorang Yahudi pernah berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Amirul-Mukminin, ada sebuah ayat dalam Al-Quran yang kalian baca, seandainya ayat tersebut turun di tengah- tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari raya.” “Ayat apakah itu?” tanya Umar. Ia (orang Yahudi itu) mengucapkan (ayat yang artinya),

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS Al-Maidah: 3)

 Umar berkata, “Kami telah mengetahui hal itu, yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdiri di Arafah pada hari Jum’at. (HR Muttafaqun ’alaih)

Subhanallah, perhatikan bagaimana tingginya orang Yahudi tersebut memandang risalah Islam. Ayat yang disitirnya memang menunjukkan kesempurnaan dan keutamaan ajaran Islam. Kesempurnaan Islam ditegaskan pula oleh Allah dalam firmannya,

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) sebagai penjelas segala sesuatu.” (QS An-Nahl: 89)

“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Quran).” (QS Al-An’am: 38)

 Hal ini diakui pula oleh kalangan non- Muslim pada masa itu, sebagaimana yang dikatakan seorang Yahudi kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu,

“Sungguh, Rasul kalian telah menjelaskan (segala hal) kepada kalian sampai buang hajat.” Selanjutnya Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

 “Beliau telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar dan kecil atau beristinja (membersihkan dubur) dengan tangan kanan, beristinja dengan kotoran atau belulang.” (HR Muslim)

Adapun keridhaan Allah terhadap Islam sebagai satu-satunya agama bagi umat manusia setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sejalan dengan firmannya,

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran: 19)

“Dan siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali Imran: 85)

Karena itu tidaklah pantas bagi seorang Muslim untuk berkompromi dalam menjalankan ajaran agamanya. Allah berfirman,

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul- Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al-Ahzab: 36)

Dengan memperhatikan ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, seharusnya kita tidak perlu ragu dan minder memperlihatkan ke- Islam-an kita secara utuh meski berada di tengah-tengah komunitas yang mayoritasnya bukan Muslim. Toh pada umumnya mereka menghargai perbedaan keyakinan dan budaya, sebagaimana prinsip toleransi dalam Islam yang digariskan Allah dalam firman-Nya,

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 6)

So, my brothers and sisters, let’s be proud to be Muslims!

Related Articles

Back to top button