artikel

Manajemen Prasangka

Bersama: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S
Aula Utama Masjid Ukhuwah Islamiyah, UI Depok

Aisyah R.A. berkata, “Rasulullah biasanya melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya juga (tetap) melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR. Bukhari & Muslim)

✨“Ghuroba”✨
Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya dari jalur Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim [145] dalam Kitab al-Iman.Syarh Muslim, 1/234).

Siapakah orang asing itu?
Yaitu orang-orang yang mempelajari sunnah dan mengajarkannya kepada yang lain. Bukan orang yang lari atau ngumpet. Ghuroba, seperti yang Rasulullah SAW jelaskan :

Yaitu orang yang belajar dan mengajarkan sunnah.

Menurut riwayat lain, “Siapakah orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (amar ma’rur dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak”, jawab Rasulullah (HR. Thabrani). Semoga kita termasuk di dalamnya. Aamiin

“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu‘anha). Saat malam genap biasanya sedikit yang datang, karena mereka pada mengejar di malam ganjil.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa tidak ada prediksi khusus mengenai hadirnya malam Lailatul Qadr ini. Hikmahnya adalah kita tidak mengincar di hari tertentu saja. Karena kalau ditentukan, maka kita hanya mengejar di hari yang ditentukan itu. Ketidaktahuan kita ini justru pada akhirnya akan menjadikan kita lebih maksimal di semua hari sepuluh malam terakhir itu.

Bagi seorang muslim yang senantiasa menjaga hatinya, akan selalu menghindar dari murka Allah SWT.

Dustur Rabbani
Q. S. Al-Hujurat : 12

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Kita wajib menjauhi banyak prasangka. Karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan sebagian yg tidak berprasangka itu husnudzon.

Setengah dari prasangka, zona yang diperintah untuk dijauhi yaitu su’udzon ==> prasangka yang buruk.

Q. S. Yunus : 36

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, yang hanya berasal dari asumsi sendiri akan ditolak. Karena semuanya ilmu yang digunakan adalah ilmu kira-kira bukan berdasarkan fakta.

Q. S An-Nisa : 157

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

“Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.”

Pada ayat di atas itu menceritakan kaum nasrani, mereka mengklaim, bahwa yang disalib adalah Nabi Isa. Padahal Allah SWT telah menyatakan bahwa Nabi Isa tidak mereka bunuh dan tidak disalib.

Dustur Nabawi
“Iyyakum wa dzana, fainna dzonna akdzabul hadits”
yang artinya, “Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan paling dusta.” (Muttafaq alaih—Shahih)

Takutlah kalian, sesungguhnya sedusta-dustanya perkataan adalah prasangka. Misalkan kita mempunyai mobil, kemudian ada yang pegang atau ada yang di dekat mobil kita. Pasti kita akan ada dialog atau ucapan jiwa. Saat itu dilemparkanlah prasangka oleh syaitan ke jiwa manusia. “Sepertinya bukan tukang parkir”, maka dilemparkanlah ke dalam hati kita prasangka. Ucapan dihati adalah sumber utama dari ucapan di bibir. Itulah sebohong-bohongnya perkataan, itulah dzon, kalau sudah di mulut jadi tudingan.

Dzon yang dilarang adalah dzon yang buruk. Takutlah kalian, jauhkan diri kalian dari dzon-dzon, yang disuruh untuk dijauhi adalah dzon yang buruk.

✨Ta’rif Definisi✨
Dzon itu di hati manusia yang tanpa dalil tanpa petunjuk, tanpa dasar. Yang keluar dari hati manusia.

Al-Qurtubi berkata : Yang dimaksud dzon disini adalah tuduhan yang tidak memiliki sebab, sebagaimana menuduh seorang yang melakukan kekejian yang tidak tampak, yang akhirnya dia menetapkannya.

Sedangkan menurut Al-Jurjaani Dzon adalah keyakinan yang masih memungkinkan adanya hal yang bertentangan. Ini biasa terjadi dalam keyakinan dan keraguan.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, untuk disebut maksiat ada dua syarat :

  1. Dzohir, terlihat secara nyata bahwa hal itu adalah maksiat atau sengaja menampakkan maksiat dengan bangga.
  2. Maksiat itu disepakati untuk maksiat. Tidak ada yang menyangkal bahwa itu maksiat.

Contoh main catur : sama artinya i’tikaf dengan berhala. Lalu apakah kita mengatakannya maksiat?

Ada beberapa ulamanya yang mengharamkannya. Namun akhirnya mayoritas sepakat untuk toleransi sehingga main catur bukanlah maksiat.

Hubungan Dzon dan Syariah

Dzon : tidak didasari ilmu yang valid, hanya perasaan. Sedangkan syariah didasarkan pada ilmu yang valid.

Misalnya pada suatu kasus, sebelum diproses, si penuduh hendaknya juga membawa bukti. Ketika melaporkan, ada orang lain yang juga mencari bukti. Jadi tidak hanya menuduh tanpa bukti.

Adapaun orang yang dituduh, yang jadi korban, kewajibannya bersumpah untuk menolak tuduhan tersebut jika memang tidak melakukan, ringan sekali cuma bersumpah. Karena posisi yang dituduh lebih kuat daripada yang menuduh. Karena yang menuduh memiliki 2 kewajiban yaitu bukti yang akan diselaraskan dengan tuduhan.

Kaidah
Keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan.
Imam Asy Syuyuthi, Al Asybah san Nazhair, kaidah no. 12.

Macam-macam Prasangka :
1. Zhan yang wajib, husnuzhan kepada Allah SWT dan kaum muslimin.
Ahsanu dzon billahi azza wajalla wabil muslimina wajib
2. Zhan yang dilarang, kebalikan dari yang di atas.
3. Zhan yang mubah.
– Pada perkara-perkara yang mubah seperti memperkirakan akan turunnya hujan, prediksi dan analisa politik sepakbola

*berdasarkan ilmu, bukan tebak-tebakan. “Bagimana masa depan saya nanti ya?”

– Zhan yang memiliki dalil

*keyakinan, ilmu yakin.

Husnuzhan billah
Q. S. Al-Baqarah : 214, 216
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Husnuzhon pada Allah.
Contoh kasusnya adik-adik SMA pada masa SBMPTN.
Pilihan jurusan
– Pilihan Harapan
– Pilihan Kenyataan
– Pilihan Kecelakaan
Ternyata ketika pengumuman yang diterima adalah pada pilihan kecelakaan. Lalu apakah kita akan mengutuk atas apa yang sudah dipilihkan oleh Allah?

Hendaknya kita tetap berhusnudzon, karena kita tidak tau apa yang akan terjadi di balik pilihan Allah itu, yang pasti pilihan Allah adalah yang terbaik.

Tetap jaga husnudzon kita kepada Allah. Allah lebih mengetahui terhadap apa yang diciptakannya.

Husnuzhan bil muslimin
Ada beberapa kisah terkait contoh husnuzhan bil muslimin :
1. Sofiyyah bercerita kepada Ali bin Abdu Zein, bahwa sofia pernah datang kepada Rasul, sofiyyah menjenguk rasul saat sedang itikaf, tapi hanya menjenguk. Kemudian sofiyyah ngobrol, bertanya bagaimana makanannya?

Lalu sofiyyah berdiri, Nabi pun ikut berdiri, menemani istrinya, diantar pulang. Ketika sampai di pintu masjid lewatlah dua orang anshar, mengucapkan salam, melihat Nabi dengan pandangan tidak enak. Karena mereka tidak tahu sofiyyah istrinya. Bahwasanya, ketika ada yang curiga, maka jelaskan. Rasul menjelaskan, ini istri saya.

Lalu laki-laki itu berkata Subhanallah.
Nabi menegur dengan keras.

2. Pasca perang Hunain
Perang Hunain menang, walau sempat kalang kabut, banyak ghanimah yang berhasil dirampas.

Semua ghanimah diberikan ke penduduk mekkah. Orang anshar tidak kebagian, timbul lah prasangka bahwa Rasulullah telah melakukan nepotisme. Hal tersebut sampai terdengar kepada Rasulullah SAW. Akhirnya Nabi memanggil pimpinan orang anshar, Saad bin muadz. Nabi berkata, “kumpulkan orang anshar”, kemudian Rasulullah berbicara kepada mereka :

“Wahai masyarakat Anshar, ucapan-ucapan kalian telah sampai kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang baru dalam diri kalian karena aku. Bukankah aku telah mendatangi kalian yang saat itu dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan kalian hidayah; dan dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah melunakkan di antara hati kalian.” Mereka menjawab, ‘Memang benar, Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keamanan dan keutamaan.” Rasulullah berkata lagi, “Mengapa kalian tidak memenuhiku, hai orang-orang Anshar?” Mereka menjawab, “Dengan apa kami harus memenuhimu, wahai Rasulullah? Padahal hanya milik Allah dan Rasul-Nya segala keamanan dan keutamaan.”

Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka,

“Apa pun demi Allah, seandainya kalian menghendaki, sungguh pasti kalian akan mengatakan dan membenarkan dengan sungguh-sungguh: Engkau datang (hijrah) kepada kami dalam keadaan didustakan (oleh kaum Quraisy di Mekkah), lalu kami membenarkanmu; dalam keadaan terlunta-lunta lalu kami menolongmu; dalam keadaan terusir lalu kami menolongmu; dan dalam keadaan kekurangan lalu kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Anshar, apakah kalian menemukan pada diri kalian kecenderungan pada dunia, padahal aku telah melunakkan suatu kaum agar mereka masuk Islam. Sedangkan kepada kalian, aku telah mewakilkan keIslaman kalian. Apakah kalian tidak ridha wahai masyarakat Anshar terhadap orang yang kembali dengan kambing-kambing dan unta-unta, sementara kalian kembali bersama Rasulullah ke tempat kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, pasti aku menjadi salah satu di antara kaum Anshar. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan orang-orang Anshar ke bukit yang lain, pasti aku berjalan di bukit kaum Anshar. Ya Allah, sayangilah kaum Anshar juga anak-anak dan cucu-cucu mereka.”

Belum selesai ucapan Rasulullah itu, kaum Anshar menangis sejadi-jadinya hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. Mereka berkata,

“Kami ridha dengan pembagian yang diberikan Rasulullah”.

Begitulah Rasulullah dalam menyikapi zhon-zhon negatif yang terjadi pada umatnya, yang ditujukan kepadanya.

✨Jika orang mulia saja, pernah menjadi korban su’udzon, apalagi kita. Menjadi korban su’udzon bukan berarti kita jelek, tetapi hal ini untuk menjadikan kita lebih bersikap dewasa. Bagaimana memanajemen diri, agar dzon-dzon kita terkontrol dan sesuai dengan yang Allah inginkan.✨

[Tanya~Jawab] :

1. Bagaimana kita menyikapi peristiwa yang membuat kita ada zhan-zhan negatif?
Jawab : Kalau seandainya kesalahan seseorang itu ada bukti, misalnya buang sampah sembarangan, ini kenyataan, beda cerita ketika kita mendapat kisah atau tidak melihat secara langsung. Kemudian saya langsung memvonis, ini bisa jadi zhon. Kalau kita sudah melihat langsung, ini bukan zhon. Kalau melihat secara langsung, sikap kita jangan diam saja, kalau kita punya power, tegur langsung dengan baik. Kalau melihat kemungkaran maka rubahlah, jika tidak bisa dengan tangan, maka gunakan lisan, jika tidak mampu dengan lisan, maka rubahlah melalui hati

2. Bagaimana kalau dalam kondisi sholat berjamaah, kita ingin merapatkan shaf, tetapi orang disamping kita malah minggir lagi? Jawab: Barangkali dia seperti itu karena ilmunya belum sampai, atau ilmu sudah sampai tetapi dia tidak menganggap bahwa merapatkan shaf sewajib itu. Kita bisa mengingatkannya secara perlahan.

3. Misalnya ada Artis A digosipkan.
Kemudian kita mencari koran, parameter koran yang layak & bagus itu seperti apa?
Jawab : Kalau kita pakai standar ilmu hadist dalam bidang media, kita anggap salah semua.

Kita harus tahu peristiwanya apa, yang diberitakannya apa.

Cukuplah seseorang yang mengatakan apa yang didengar. Ketika orang fasiq datang kepadamu, maka periksalah.

Berita dari ustadz saja, tetap harus kita kroscek. Karena ‘lalai’, semua orang bisa mengalami.

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button